Beberapa pekan belakangan ini, seluruh media sedang
ramai menyoroti kasus pengadaan UPS untuk Sekolah-sekolah di Jakarta yang
menggunakan APBD DKI tahun 2014. Gubernur DKI Jakarta pun sudah habis
kesabarannya dan sangat geram melihat semakin banyak oknum pejabat dan anggota
Dewan yang terindikasi melakukan korupsi dan melaporkan dugaan penyelewangan
anggaran itu kepada KPK.
Menurut Ahok, pengadaan UPS untuk Sekolah dianggap
sama sekali tidak masuk akal, sebab seharusnya untuk membeli UPS yang dipasang
di lingkungan sekolah cukup dibiayai dengan APBD tak lebuh dari 1 Miliar untuk
setiap sekolah, Yang sangat mencengangkan adalah bahwa proyek pengadaan UPS
tersebut sampai memakan biaya bahkan hampir mendekati Rp. 6 Miliard per
sekolah.
Melihat kondisi diatas, tentu timbul pertanyaan bagi
masyarakat awam, bagaimana mekanismenya sehingga kasus tersebut dinilai oleh
Ahok sebagai tindakan korupsi yang merugikan keuangan daerah sampai ratusan
miliar? Dalam tulisan ini, saya akan sedikit membuka ‘trik sulap’ para oknum
pejabat dalam membobol APBD melalui proyek pengadaan barang pemerintah.
Berawal dari Penyusunan RAPBD
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa setiap
pemerintah daerah di Indonesia, tentu memerlukan sejumlah dana untuk membiayai
segala keperluannya antara lain untuk belanja pegawai, pembangunan fisik /
infrastruktur dan pengeluaran dan belanja lainnya yang menyeluruh dalam rangka
membangun daerah yang bersangkutan di segala bidang. Untuk itulah pada awal
tahun anggaran, sebelum menetapkan besarnya APBD, DPRD harus melakukan
pembahasan Rancangan APBD yang melibatkan eksekutif dalam hal ini Gubernur
beserta SKPD terkait.
Hasil Rapat pembahasan anggaran adalah merupakan
kesepakatan antara lembaga legislatif dhi DPRD dan lembaga eksekutif yang
diwakili oleh Gubernur sebagai Kepala Daerah Propinsi. Dalam proses penyusunan,
tentu dari pihak eksekutif telah membuat daftar usulan proyek yang akan
dilaksanakan untuk tahun anggaran mendatang. Namun demikian tidak menutup
kemungkinan bahwa anggota Dewan juga diperbolehkan mengusulkan proyek yang
dinilai penting untuk direalisasi.
Strategi Menitipkan Proyek
Dalam proses penyusunan RAPBD inilah yang merupakan
pintu gerbang masuknya para mafia proyek dan oknum pejabat sebelum mereka
‘bermain’ dilapangan. Tidak heran bahwa pada proses ini, adalah kesempatan bagi
oknum pengusaha untuk mendekati oknum anggota Dewan, tujuannya adalah untuk
menawarkan produk mereka agar dapat dibeli oleh pemerintah daerah. Biasanya
yang mudah untuk diolah adalah produk atau jasa khusus, sehingga tak banyak
perusahaan sejenis lainnya yang memproduksi barang atau jasa tersebut.
Oleh sebab itu, mengapa didalam proyek pengadaan UPS
tersebut, diperlukan spesifikasi tertentu yaitu dengan kapasitas besar sampai
ratusan ribu KVA, sebab dengan spec. tinggi dengan harga yang mahal,
selain target untuk memperoleh keuntungan yang besar, juga agar tak
banyak perusahaan yang bisa ikut serta dalam lelang pengadaan barang
(e-Proc/LPSE). Dengan demikian lebih mudah diatur, atau dengan kata lain agar dalam
pelaksanaan pengadaanya nanti, hanya berhubugan dengan vendor-vendor tertentu
saja, sehingga bisa diatur komitmen pembagian keuntungannya. Disini tentu ada
oknum yang khusus bertugas membangun sebuah mafia. Dia akan mengkoordinasikan
seluruh provider/penyedia dan agen yang mampu menyediakan barang namun harus
mau mengikuti syarat-syarat atau komitmen tertentu.
‘Memaksakan’ Mata Anggaran
Dalam tahap ini, diperlukan oknum Anggota Dewan yang
pandai ‘bermain’ dalam rapat pembahasan RAPBD. Pada saat melaksanakan rapat,
tentu mereka menggunakan berbagai alasan yang tujuan pokoknya adalah untuk
sekedar meloloskan sebuah mata anggaran, lengkap dengan nilai anggarannya. Agar
lebih mudah meloloskan mata anggaran terebut, maka mafia tak segan-segan
mencari oknum pejabat SKPD yang mau diajak kompromi, maksudnya agar tidak
memperoleh penolakan dan dapat diterima seolah-olah proyek pengadaan barang
tersebut memang mendesak untuk segera dilaksanakan.
Dengan demikian, rapat pembahasan dapat berjalan mulus
dan tidak akan banyak memakan waktu dan dapat segera diputuskan sebagai sebuah
mata anggaran yang berisi proyek ‘titipan’. Hal ini juga bisa diawali dari
oknum dari eksekutif, dengan cara yang sama yaitu mempengaruhi oknum anggota
Deewan dan mengajaknya untuk menyusun konspirasi meloloskan sebuah mata
anggaran proyek.
Proses Penetapan APBD
Setelah seluruh peserta pembahasan draft RAPBD
menyatakan setuju, maka Ketua Rapat Paripurna mengetok palu, sebagai tanda
disetujuinya Rancangan APBD (RAPBD). RAPBD kemudian dikirim ke Kemendagri untuk
dilakukan evaluasi dan persetujuan. RAPBD yang disetujui oleh Mendagri
diputuskan sebagai APBD resmi yang harus dilaksanakan oleh eksekutif dhi.
Gubernur melalui SKPD dibawahnya.
Pihak Kementerian Dalam Negeri sesungguhnya juga
memiliki hak untuk mengevaluasi RAPBD yang disulkan daerah terkait, namun pada
kenyataannya tak banyak dilakukan revisi, apalagi bila ada ada oknum pejabat
yang masuk di dalam anggota mafia anggaran tersebut.
Penetapan Harga Proyek
Setelah APBD secara resmi di tetapkan, maka mulailah
SKPD terkait menjalankan tugasnya untuk merealisasikan seluruh mata anggaran
yang telah ditetapkan tersebut. Untuk itu dibuatlah sebuah lelang pengadaan
proyek dengan menggunakan mekanisme e-Proc atau LPSE (Layanan Pengadaan Secara
Elektronik).
Sebelum diumumkan melalui Lelang (LPSE) maka SKPD ybs,
membentuk tim khusus untuk menyusun harga proyek. Lagi lagi dalam proses ini,
mafia proyek bekerja dengan cara mempengaruhi petugas/staff yang menyusun Harga
Perkiraan Sendiri (HPS). Tujuannya adalah membuat taksiran harga sebuah proyek,
agar dapat diambil keuntungan yaitu biasanya dengan cara ‘mark up’ harga atau
yang populer dengan istilah penggelembungan harga.
Jadi misalnya harga pasar sebuah barang yang wajar
adalah seharga 100, maka dibuatlah harga misalnya 300. Selisih harga 200 inilah
nantinya yang akan dibagi-bagi.
Meskipun SKPD punya pedoman harga-harga yang wajar untuk berbagai barang dan jasa, namun untuk produk dengan spec tertentu , seringkali sangat relatif harganya. Oleh sebab itu, dipilihlah produk khusus sehingga mudah dalam mengatur mark-up harga.
Selain itu, syarat-syarat perusahaan yang bisa mengikuti tender juga dibuat sedemikian rupa agar pemenang proyek bisa dikondisikan atau diatur.
Meskipun SKPD punya pedoman harga-harga yang wajar untuk berbagai barang dan jasa, namun untuk produk dengan spec tertentu , seringkali sangat relatif harganya. Oleh sebab itu, dipilihlah produk khusus sehingga mudah dalam mengatur mark-up harga.
Selain itu, syarat-syarat perusahaan yang bisa mengikuti tender juga dibuat sedemikian rupa agar pemenang proyek bisa dikondisikan atau diatur.
mereka meminjam bendera perusahaan lain untuk
mengelabuhi, padahal yang mengerjakan semua transaksi pembelian sampai
penerimaan pembayaran proyek adalah para mafia itu sendiri
Setelah Harga proyek dan semua syarat-syarat dibuat,
maka lelang pengadaan barang diumumkan melalu LPSE. LPSE adalah lelang terbuka
namun pelaksanaannya dilakukan secara elektronik (melalui internet), sehingga
seluruh perusahaan pengadaan barang yang memenuhi syarat boleh mengikutinya.
Kembali mafia proyek bekerja dalam tahap ini yaitu dengan mempengaruhi atau
bekerja sama dengan panitia lelang dalam hal ini ULP (Unit Layanan Pengadaan).
Panitia lelang melakukan penilaian secara subyektip
dan mengkondisikan agar perusahaan tertentu yang menang. Para mafia akan
mencari perusahaan lain atau meminjam bendera perusahaan lain yang sekedar
dipakai sebagai nama perusahaannya saja. Sebagaimana pada kasus pengadaan UPS
diatas, selain perusahaan milik mafia, banyak sekali perusahaan fiktip yang
dipakai sebagai bendera untuk memenangkan proyek tsb. Padahal setelah
ditelusuri, ternyata yang bermain adalah kelompok mafia itu sendiri. Mereka
tidak tanggung-tanggung dalam mengeruk keuntungan dan asal-asalan dalam mencari
perusahaan yang dipakai, yang penting bisa menang lelang
Perusahaan pemenang lelang sudah diatur
oleh panitia Lelang (ULP) terkait, yaitu biasanya adalah milik mafia
proyek atau didalamnya terdapat keterlibatan dengan oknum pejabat. Bila
perusahaanya sudah menang, untuk proyek sejenis lainnya, mereka meminjam
bendera perusahaan lain. Biasanya para pemilik perusahaan yang dipinjam
benderanya tidak tahu menahu, bahwa perusahaan dipakai untuk proyek apa.
Mereka baru mengetahui setelah menang dan pemilik perusahaan itu
hanya diberikan sejumlah uang jasa (fee) karena telah meminjamkan
bendera perusahaanya.
Lalu mengapa harus menggunakan banyak bendera
perusahaan lain? Sebab kelompok mafia menghindari adanya kecurigaan bahwa
perusahaan milik mereka yang sering menang apalagi untuk beberapa proyek
sekaligus. “Mudah ketahuan auditor” kata mereka. Maka dari itu, mereka
meminjam bendera perusahaan lain untuk mengelabuhi, padahal yang mengerjakan
semua transaksi pembelian sampai pemasangan barang adalah para mafia itu
sendiri.
Semua bukti-bukti pembelian dipalsukan, sehingga
seolah mereka membelanjakan barang senilai harga yang ditetapkan. Namun karena
harga barangpun sudah digelembungkan (mark-up) maka tentu mereka memperoleh
keuntungan besar melalui trik ‘markup’ harga tersebut. Keuntungan yang
diperoleh nantinya akan dibagi-bagi kepada oknum pejabat yang terlibat
Dengan demikian, bila seluruh proses sejak dari
pembahasan draft RAPBD sudah disusupi mafia proyek, maka tentu saja para
koruptor dengan mudah membobol APBD, sebab telah melibatkan legislatif hingga
eksekutif yang terkait dalam pelaksanaan proyek pengadaan barang tersebut.
Semoga bisa memberikan pencerahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar