Cara Membobol APBD Melalui Proyek Pengadaan Barang - Cv. Fajar Wagadey

Header Ads

test banner

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Senin, 02 Oktober 2017

Cara Membobol APBD Melalui Proyek Pengadaan Barang


60APBD

Beberapa pekan belakangan ini, seluruh media sedang ramai menyoroti kasus pengadaan UPS untuk Sekolah-sekolah di Jakarta yang menggunakan APBD DKI tahun 2014. Gubernur DKI Jakarta pun sudah habis kesabarannya dan sangat geram melihat semakin banyak oknum pejabat dan anggota Dewan yang terindikasi melakukan korupsi dan melaporkan dugaan penyelewangan anggaran itu kepada KPK.
Menurut Ahok, pengadaan UPS untuk Sekolah dianggap sama sekali tidak masuk akal, sebab seharusnya untuk membeli UPS yang dipasang di lingkungan sekolah cukup dibiayai dengan APBD tak lebuh dari 1 Miliar untuk setiap sekolah, Yang sangat mencengangkan adalah bahwa proyek pengadaan UPS tersebut sampai memakan biaya bahkan hampir mendekati Rp. 6 Miliard per sekolah.
Melihat kondisi diatas, tentu timbul pertanyaan bagi masyarakat awam, bagaimana mekanismenya sehingga kasus tersebut dinilai oleh Ahok sebagai tindakan korupsi yang merugikan keuangan daerah sampai ratusan miliar? Dalam tulisan ini, saya akan sedikit membuka ‘trik sulap’ para oknum pejabat dalam membobol APBD melalui proyek pengadaan barang pemerintah.
Berawal dari Penyusunan RAPBD
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa setiap pemerintah daerah di Indonesia, tentu memerlukan sejumlah dana untuk membiayai segala keperluannya antara lain untuk belanja pegawai, pembangunan fisik / infrastruktur dan pengeluaran dan belanja lainnya yang menyeluruh dalam rangka membangun daerah yang bersangkutan di segala bidang. Untuk itulah pada awal tahun anggaran, sebelum menetapkan besarnya APBD, DPRD harus melakukan pembahasan Rancangan APBD yang melibatkan eksekutif dalam hal ini Gubernur beserta SKPD terkait.
Hasil Rapat pembahasan anggaran adalah merupakan kesepakatan antara lembaga legislatif dhi DPRD dan lembaga eksekutif yang diwakili oleh Gubernur sebagai Kepala Daerah Propinsi. Dalam proses penyusunan, tentu dari pihak eksekutif telah membuat daftar usulan proyek yang akan dilaksanakan untuk tahun anggaran mendatang. Namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa anggota Dewan juga diperbolehkan mengusulkan proyek yang dinilai penting untuk direalisasi.
Strategi Menitipkan Proyek
Dalam proses penyusunan RAPBD inilah yang merupakan pintu gerbang masuknya para mafia proyek dan oknum pejabat sebelum mereka ‘bermain’ dilapangan. Tidak heran bahwa pada proses ini, adalah kesempatan bagi oknum pengusaha untuk mendekati oknum anggota Dewan, tujuannya adalah untuk menawarkan produk mereka agar dapat dibeli oleh pemerintah daerah. Biasanya yang mudah untuk diolah adalah produk atau jasa khusus, sehingga tak banyak perusahaan sejenis lainnya yang memproduksi barang atau jasa tersebut.
Oleh sebab itu, mengapa didalam proyek pengadaan UPS tersebut, diperlukan spesifikasi tertentu yaitu dengan kapasitas besar sampai ratusan ribu KVA, sebab dengan spec. tinggi dengan harga yang mahal,  selain target untuk memperoleh keuntungan yang besar, juga agar tak banyak perusahaan yang bisa ikut serta dalam lelang pengadaan barang (e-Proc/LPSE). Dengan demikian lebih mudah diatur, atau dengan kata lain agar dalam pelaksanaan pengadaanya nanti, hanya berhubugan dengan vendor-vendor tertentu saja, sehingga bisa diatur komitmen pembagian keuntungannya. Disini tentu ada oknum yang khusus bertugas membangun sebuah mafia. Dia akan mengkoordinasikan seluruh provider/penyedia dan agen yang mampu menyediakan barang namun harus mau mengikuti syarat-syarat atau komitmen tertentu.
‘Memaksakan’ Mata Anggaran
Dalam tahap ini, diperlukan oknum Anggota Dewan yang pandai ‘bermain’ dalam rapat pembahasan RAPBD. Pada saat melaksanakan rapat, tentu mereka menggunakan berbagai alasan yang tujuan pokoknya adalah untuk sekedar meloloskan sebuah mata anggaran, lengkap dengan nilai anggarannya. Agar lebih mudah meloloskan mata anggaran terebut, maka mafia tak segan-segan mencari oknum pejabat SKPD yang mau diajak kompromi, maksudnya agar tidak memperoleh penolakan dan dapat diterima seolah-olah proyek pengadaan barang tersebut memang mendesak untuk segera dilaksanakan.
Dengan demikian, rapat pembahasan dapat berjalan mulus dan tidak akan banyak memakan waktu dan dapat segera diputuskan sebagai sebuah mata anggaran yang berisi proyek ‘titipan’. Hal ini juga bisa diawali dari oknum dari eksekutif, dengan cara yang sama yaitu mempengaruhi oknum anggota Deewan dan mengajaknya untuk menyusun konspirasi meloloskan sebuah mata anggaran proyek.
Proses Penetapan APBD
Setelah seluruh peserta pembahasan draft RAPBD menyatakan setuju, maka Ketua Rapat Paripurna mengetok palu, sebagai tanda disetujuinya Rancangan APBD (RAPBD). RAPBD kemudian dikirim ke Kemendagri untuk dilakukan evaluasi dan persetujuan. RAPBD yang disetujui oleh Mendagri diputuskan sebagai APBD resmi yang harus dilaksanakan oleh eksekutif dhi. Gubernur melalui SKPD dibawahnya.
Pihak Kementerian Dalam Negeri sesungguhnya juga memiliki hak untuk mengevaluasi RAPBD yang disulkan daerah terkait, namun pada kenyataannya tak banyak dilakukan revisi, apalagi bila ada ada oknum pejabat yang masuk di dalam anggota mafia anggaran tersebut.
Penetapan Harga Proyek 
Setelah APBD secara resmi di tetapkan, maka mulailah SKPD terkait menjalankan tugasnya untuk merealisasikan seluruh mata anggaran yang telah ditetapkan tersebut. Untuk itu dibuatlah sebuah lelang pengadaan proyek dengan menggunakan mekanisme e-Proc atau LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik).
Sebelum diumumkan melalui Lelang (LPSE) maka SKPD ybs, membentuk tim khusus untuk menyusun harga proyek. Lagi lagi dalam proses ini, mafia proyek bekerja dengan cara mempengaruhi petugas/staff yang menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Tujuannya adalah membuat taksiran harga sebuah proyek, agar dapat diambil keuntungan yaitu biasanya dengan cara ‘mark up’ harga atau yang populer dengan istilah penggelembungan harga.
Jadi misalnya harga pasar sebuah barang yang wajar adalah seharga 100, maka dibuatlah harga misalnya 300. Selisih harga 200 inilah nantinya yang akan dibagi-bagi.
Meskipun SKPD punya pedoman harga-harga yang wajar untuk berbagai barang dan jasa, namun untuk produk dengan spec tertentu , seringkali sangat relatif harganya. Oleh sebab itu, dipilihlah produk khusus sehingga mudah dalam mengatur mark-up harga.
Selain itu, syarat-syarat perusahaan yang bisa mengikuti tender juga dibuat sedemikian rupa agar pemenang proyek bisa dikondisikan atau diatur.
mereka meminjam bendera perusahaan lain untuk mengelabuhi, padahal yang mengerjakan semua transaksi pembelian sampai penerimaan pembayaran proyek adalah para mafia itu sendiri
Setelah Harga proyek dan semua syarat-syarat dibuat, maka lelang pengadaan barang diumumkan melalu LPSE. LPSE adalah lelang terbuka namun pelaksanaannya dilakukan secara elektronik (melalui internet), sehingga seluruh perusahaan pengadaan barang yang memenuhi syarat boleh mengikutinya. Kembali mafia proyek bekerja dalam tahap ini yaitu dengan mempengaruhi atau bekerja sama dengan panitia lelang dalam hal ini ULP (Unit Layanan Pengadaan).
Panitia lelang melakukan penilaian secara subyektip dan mengkondisikan agar perusahaan tertentu yang menang. Para mafia akan mencari perusahaan lain atau meminjam bendera perusahaan lain yang sekedar dipakai sebagai nama perusahaannya saja. Sebagaimana pada kasus pengadaan UPS diatas, selain perusahaan milik mafia, banyak sekali perusahaan fiktip yang dipakai sebagai bendera untuk memenangkan proyek tsb. Padahal setelah ditelusuri, ternyata yang bermain adalah kelompok mafia itu sendiri. Mereka tidak tanggung-tanggung dalam mengeruk keuntungan dan asal-asalan dalam mencari perusahaan yang dipakai, yang penting bisa menang lelang
Perusahaan pemenang lelang sudah diatur oleh panitia Lelang (ULP) terkait, yaitu biasanya adalah milik mafia proyek atau didalamnya terdapat keterlibatan dengan oknum pejabat. Bila perusahaanya sudah menang, untuk proyek sejenis lainnya, mereka meminjam bendera perusahaan lain. Biasanya para pemilik perusahaan yang dipinjam benderanya tidak tahu menahu, bahwa perusahaan dipakai untuk proyek apa.  Mereka baru mengetahui setelah menang dan pemilik perusahaan itu hanya diberikan sejumlah uang jasa (fee) karena telah meminjamkan bendera perusahaanya.
Lalu mengapa harus menggunakan banyak bendera perusahaan lain? Sebab kelompok mafia menghindari adanya kecurigaan bahwa perusahaan milik mereka yang sering menang apalagi untuk beberapa proyek sekaligus. “Mudah ketahuan auditor” kata mereka. Maka dari itu, mereka meminjam bendera perusahaan lain untuk mengelabuhi, padahal yang mengerjakan semua transaksi pembelian sampai pemasangan barang adalah para mafia itu sendiri.
Semua bukti-bukti pembelian dipalsukan, sehingga seolah mereka membelanjakan barang senilai harga yang ditetapkan. Namun karena harga barangpun sudah digelembungkan (mark-up) maka tentu mereka memperoleh keuntungan besar melalui trik ‘markup’ harga tersebut. Keuntungan yang diperoleh nantinya akan dibagi-bagi kepada oknum pejabat yang terlibat
Dengan demikian, bila seluruh proses sejak dari pembahasan draft RAPBD sudah disusupi mafia proyek, maka tentu saja para koruptor dengan mudah membobol APBD, sebab telah melibatkan legislatif hingga eksekutif yang terkait dalam pelaksanaan proyek pengadaan barang tersebut.
Semoga bisa memberikan pencerahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here